SURABAYA - Siapa yang tak kenal Andik
Vermansyah. Karier Pemain Persebaya 1927 yang saat memperkuat Tim Nasional
(Timnas) ini kini terus bersinar. Bahkan, sejak gol tunggalnya ke gawang Singapura
saat Ajang Piala AFF, nama arek Suroboyo ini semakin melejit. Andik
dielu-elukan bak pahlawan bagi Indonesia.
Rupanya, di balik bersinarnya bintang lapangan hijau ini ternyata memiliki riwayat hidup yang kurang beruntung. Masa kecil, Andik harus berjuang mati-matian untuk menopang ekonomi keluarganya saat itu. Tak jarang, lajang kelahiran 23 November 1991 ini harus bersusah payah untuk mengumpulkan rupiah bersama kakak-kakaknya. Sementara sang ayah Saman yang bekerja sebagai kuli batu penghasilannya pas-pasan. Jumiyah, sang ibu juga harus bekerja keras untuk ikut membantu ekonomi keluarga.
Karena belum bisa membeli rumah, orang tua Andik bersama tiga saudaranya harus tinggal mengontrak di Jalan Rangkah, Surabaya. Tak kurang 12 tahun keluarga ini tinggal di tempat tersebut. Kemudian berpindah kontrakkan di Jalan Mundu selama dua tahun. Tak cukup di situ, keluarga ini pun harus pindah kontrakkan di Jalan Bogem. Di tempat ini, mereka tinggal selama 6 tahun.
"Kami masuk Surabaya sekitar tahun 1992. Karena tidak punya tempat tinggal harus berpindah-pindah dengan mengontrak. Dan Alhamdulilah ketika Andik menjadi besar di sepak bola ini dibelikan rumah di sini dan kami sekeluarga tinggal di sini. Sekarang sudah tidak pindah-pindah," kata Jumiyah ketika ditemui Okezone di Rumah yang baru dibeli sekitar dua tahun lalu di Jalan Kalijudan Taruna III nomer 90, Surabaya, Jumat (30/11/2012).
Hidup yang serba sulit itu, tak membuat Andik Vermasyah putus asa. Bahkan, sesekali ia bersama kakaknya Agus Dwi Cahyono berjibaku keliling kampung. Andik berjualan gorengan dan kadang juga mengamen sementara sang kakak harus berjualan koran. Saat itu sang kakak melihat adiknya memang menggemari sepak bola sejak usia 5 tahun.
Pernah suatu ketika, saat Andik disuruh berjualan ibunya jajan gorengan keliling kampung. Saat itu masih mengontrak di Jalan Rangkah. Jajanan produksi Jumiyah ini dijajakan oleh Andik keliling kampung. Karena kurang hati-hati, Andik terperset dan jatuh. Celakanya, jajajan yang ada di dalam ember harus terjatuh kedalam got sehingga tidak bisa dipungut. Pulang dengan tangan hampa tanpa memperoleh hasil ini membuat Andik kecil.
"Saat itu ibu memang sabar. Dia hanya bisa bilang lain kali hati-hati. Sementara untuk menutup modal agar bisa jualan harus ngutang ke tetangga," tambah Agus Dwi Cahyono.
(fit)
Rupanya, di balik bersinarnya bintang lapangan hijau ini ternyata memiliki riwayat hidup yang kurang beruntung. Masa kecil, Andik harus berjuang mati-matian untuk menopang ekonomi keluarganya saat itu. Tak jarang, lajang kelahiran 23 November 1991 ini harus bersusah payah untuk mengumpulkan rupiah bersama kakak-kakaknya. Sementara sang ayah Saman yang bekerja sebagai kuli batu penghasilannya pas-pasan. Jumiyah, sang ibu juga harus bekerja keras untuk ikut membantu ekonomi keluarga.
Karena belum bisa membeli rumah, orang tua Andik bersama tiga saudaranya harus tinggal mengontrak di Jalan Rangkah, Surabaya. Tak kurang 12 tahun keluarga ini tinggal di tempat tersebut. Kemudian berpindah kontrakkan di Jalan Mundu selama dua tahun. Tak cukup di situ, keluarga ini pun harus pindah kontrakkan di Jalan Bogem. Di tempat ini, mereka tinggal selama 6 tahun.
"Kami masuk Surabaya sekitar tahun 1992. Karena tidak punya tempat tinggal harus berpindah-pindah dengan mengontrak. Dan Alhamdulilah ketika Andik menjadi besar di sepak bola ini dibelikan rumah di sini dan kami sekeluarga tinggal di sini. Sekarang sudah tidak pindah-pindah," kata Jumiyah ketika ditemui Okezone di Rumah yang baru dibeli sekitar dua tahun lalu di Jalan Kalijudan Taruna III nomer 90, Surabaya, Jumat (30/11/2012).
Hidup yang serba sulit itu, tak membuat Andik Vermasyah putus asa. Bahkan, sesekali ia bersama kakaknya Agus Dwi Cahyono berjibaku keliling kampung. Andik berjualan gorengan dan kadang juga mengamen sementara sang kakak harus berjualan koran. Saat itu sang kakak melihat adiknya memang menggemari sepak bola sejak usia 5 tahun.
Pernah suatu ketika, saat Andik disuruh berjualan ibunya jajan gorengan keliling kampung. Saat itu masih mengontrak di Jalan Rangkah. Jajanan produksi Jumiyah ini dijajakan oleh Andik keliling kampung. Karena kurang hati-hati, Andik terperset dan jatuh. Celakanya, jajajan yang ada di dalam ember harus terjatuh kedalam got sehingga tidak bisa dipungut. Pulang dengan tangan hampa tanpa memperoleh hasil ini membuat Andik kecil.
"Saat itu ibu memang sabar. Dia hanya bisa bilang lain kali hati-hati. Sementara untuk menutup modal agar bisa jualan harus ngutang ke tetangga," tambah Agus Dwi Cahyono.
(fit)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar