Negeri ini masih sangat kekurangan entrepreneur. Dibalik beragam
liputan tentang seribu satu sosok enterpreneur, negeri ini ternyata
masih sangat sedikit memiliki kaum wirausaha. Data terkini menunjukkan
angka populasi entreprenuer di negeri ini hanya 0,18 % dari total
penduduk, atau hanya sekitar 400,000 orang. Sebuah jumlah yang terlalu
sedikit untuk sebuah negara dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa.
Padahal, kisah kemonceran sebuah bangsa selalu dilentikkan oleh kisah
heroisme para entrepreneurnya. Mereka membangun bisnis dari nol,
mendedahkan cerita legendaris, dan kemudian menancapkan jejak yang amat
kokoh dalam sejarah ekonomi dunia. Amerika akan selalu dikenang karena
mereka memiliki Henry Ford, Bill Gates, ataupun Lary Page & Sergei
Brin (pendiri Google). Jepang menjadi legenda lantaran kisah Akio Morita
(pendiri Sony), Soichiro Honda dan Konosuke Matshushita (Panasonic).
Lalu bagaimana solusinya? Apa yang mesti dilakukan negeri ini
sehingga kelak akan lahir Bill Gates dari Bandung, Akio Morita dari
Pemantang Siantar, ataupun Sergei Brin dari tanah Maluku? Solusi ini
akan coba kita bentangkan dengan terlebih dulu menulusuri dua faktor
utama kenapa negeri ini masih sangat kekurangan sosok entrepreneur yang
tangguh.
Jawaban yang pertama mudah : kita sangat kekurangan jumlah
entrepreneur karena sistem pendidikan kita memang mendidik kita untuk
menjadi pegawai dan bukan entrepreneur; mengarahkan kita untuk menjadi
kuli, bukan kreator. Sungguh mengherankan, sepanjang kita sekolah selama
puluhan tahun, kita nyaris tidak pernah mendapatkan pelajaran mengenai
entrepreneurship. Juga nyaris tak pernah mendapatkan pelajaran tentang
keberanian mengambil resiko, tentang ketajaman mencium peluang bisnis,
ataupun pelajaran tentang life skills – sebuah pelajaran penting yang
akan membikin kita menjadi manusia-manusia mandiri nan digdaya.
Tidak. Kita tak pernah mendapatkan itu semua. Selama bertahun-tahun
kita hanya dijejali dengan aneka teori dan konsep, seolah-olah kelak
kita akan menjadi “kuli†atau pegawai di sebuah pabrik. Lalu
begitulah, setiap penghujung tahun ajaran, setiap kampus ataupun sekolah
bisnis beramai-ramai mengadakan Job Fair, memberikan pembekalan (sic! )
tentang cara menyusun CV yang bagus dan trik bagaimana menghadapi
wawancara kerja. Semua dilakukan sebab seolah-seolah bekerja menjadi
“kuli berdasi†di perusahaan besar (kalau bisa multi national
companies) merupakan “jalur emas†yang wajib ditempuh oleh setiap
lulusan sarjana.
Kenyataan seperti diatas mestinya harus segera dikurangi. Sebab
situasi semacam itu hanya akan membuat spirit entrepreneurship kita
pelan-pelan redup. Sebaliknya, kita sungguh berharap pendidikan dan
pelajaran entrepreneurship diberikan secara masif dan sejak usia dini,
setidaknya sejak di bangku sekolah SLTP. Sebab dengan demikian, negeri
ini mungkin bisa bermimpi melahirkan deretan entrepreneur muda nan
tangguh pada rentang usia 17 tahun-an.
Pada sisi lain, acara semacam job fair mestinya disertai dengan acara yang tak kalah meriahnya, yakni semacam “Entrepreneurship Campus Festivalâ€.
Kita membayangkan dalam ajang ini, ribuan mahasiswa muda datang dengan
beragam gagasan bisnis yang segar, dan kemudian dipertemukan dengan
barisan investor yang siap mendanai ide bisnis mereka (investor ini
sering juga disebut sebagai “angel investor†atau “venture capitalâ€).
Melalui ajang inilah bisa dilahirkan ribuan entrepreneur muda baru dari
setiap kampus yang ada di pelosok tanah air. Dan sungguh, dengan itu
mereka tak lagi harus antri berebut fomulir lamaran kerja, ditengah
terik panas matahari, dengan peluh di sekujur tubuh, dengan muka yang
kian sayu…….(duh, biyung, malang nian nasibmu…).
Faktor kedua yang membuat kita sangat kekurangan entrepreneur, dan
juga harus segera diatasi adalah ini : mindset orang tua kita yang
cenderung lebih menginginkan anaknya menjadi pegawai/karyawan. Sebab,
orang tua mana sih yang tidak bangga jika anaknya bisa menjadi ekskutif
di Citibank atau manajer di Astra International? Mindset semacam ini
menjadi kelaziman sebab bagi kebanyakan orang tua kita, mengabdi dan
bekerja di sebuah perusahaan besar setelah lulus kuliah adalah jalur
yang harus dilalui untuk merajut kesuksesan. Sebuah jalur “paling stabil†dan “paling aman†untuk dapat melihat anaknya mampu membangun rumah dan memiliki sebuah mobil sedan.
Sebaliknya, orang tua kita acap ragu dan gamang ketika melihat
anaknya memutuskan untuk membangun usaha secara mandiri. Mereka khawatir
jangan-jangan hal ini akan membuat anak cucu mereka
kelaparan……Mindset semacam ini pelan-pelan harus diubah. Cara yang
paling efektif adalah dengan menyodorkan semakin banyak contoh
keberhasilan yang bisa diraih para entrepreneur muda. Dengan kisah-kisah
keberhasilan ini, diharapkan orang tua kita menjadi kian sadar bahwa
pilihan menjadi entreprenuer dan membuka usaha sendiri merupakan jalur
yang juga bisa membawa kesuksesan yang melimpah.
Ya, orang tua kita mungkin perlu disadarkan, bahwa pilihan menjadi
juragan ayam ternak di kampung halaman tak kalah hebat dibanding menjadi
manajer di Citibank yang berkantor megah di Sudirman. Bahwa pilihan
menjadi juragan batik grosir tak kalah mak nyus dibanding menjadi
ekeskutif di sebuah perusahaan multi nasional. (strategimanajemen.net)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar