Jumat, 16 November 2012

Menyoal Devaluasi Jas Almamater




ACARA-acara televisi yang tidak bermuatan pendidikan, tapi melibatkan mahasiswa saat ini kian marak saja. Terlebih, para mahasiswa dalam acara-acara itu mengenakan jas almamater. Padahal, jas atau jaket almamater merupakan simbol kebesaran mahasiswa yang dianggap sakral. Siapa pun yang memakai jaket itu, tentu dia akan merasa bangga dan percaya diri. Perasaan itu memang sangat beralasan, karena mereka merasa sudah menempati posisi paling tinggi dalam dunia akademik, yaitu menjadi seorang mahasiswa. Sebab, tidak semua orang bisa merasakan menjadi mahasiswa, karena adanya berbagai kendala.

Tidak hanya perasaan bangga dan percaya diri bagi yang memakainya tetapi orang lain pun akan segan ketika melihat jaket almamater itu dikenakan. Bahkan menimbulkan perasaan kagum dan ingin memakainya. Diakui atau tidak, itulah kesan pertama yang didapat ketika melihat jaket almamater dipakai oleh mahasiswa.

Jaket almamater biasanya digunakan hanya pada momen-momen tertentu yang dianggap strategis dan penting, baik itu digunakan intrakampus maupun ekstrakampus. Tidak pada sembarang waktu dan tempat mahasiswa memakainya, meskipun sama sekali tidak ada aturan yang  melarang hal itu. Seolah sudah menjadi tradisi mahasiswa, jaket almamater memang tidak bisa dipandang remeh dan dianggap sakral.

Di luar kampus, jaket almamater tetap bisa menunjukkan eksistensi dan kebesarannya, yaitu ketika dalam aksi demonstrasi. Biasanya, demonstrasi akan dipandang serius ketika yang berdemo itu adalah orang-orang yang mengenakan jaket itu, yang tidak lain adalah mahasiswa. Karena itulah yang membedakan kualitas aksi demonstran. Mahasiswa melakukan aksi demonstrasi tentunya tidak sembarangan demo, tapi memang sudah ada pertimbangan dan analisis yang matang. Oleh sebab itu, setiap ada mahasiswa demo, pasti ada rasa ketakutan di antara pejabat-pejabat publik yang didemo.
 
Sebagai Identitas
 
Jas almamater juga merupakan simbol identitas bagi perguruan tinggi tertentu. Biasanya warna jaslah yang membedakan antara perguruan tinggi satu dengan yang lainnya. Melalui warna itulah sebuah perguruan tinggi bisa dikenal. Misalnya, ketika ada sebuah perlombaan antarperguruan tinggi, pasti jas almamaterlah yang membedakan dan menunjukkan dari mana seorang mahasiswa datang.
 
Bermacam-macam warna sesuai dengan perguruan tinggi inilah yang bisa memicu untuk menciptakan gerakan yang lebih besar dalam demonstrasi. Misalnya saja, ketika jas warna ”A” melakukan aksi demonstrasi dan itu masuk dalam media, tentu akan membuat mahasiswa dengan warna jas lain tersulut, sehingga itu akan membuat mereka beraksi untuk ikut menyuarakan aspirasi rakyat. Sebab, selama ini mahasiswa telah dianggap sebagai perantara antara masyarakat dan pemerintah dalam menyalurkan aspirasi.
 
Eksistensi jaket almamater dalam setiap aksi demonstrasi mahasiswa merupakan satu simbol kehormatan perguruan tinggi. Artinya, semakin sering jaket almamater itu muncul, maka kehormatan perguruan tinggi akan naik. Sebaliknya, jika jaket almamater tidak pernah atau jarang terlihat dalam setiap aksi mahasiswa, maka itu menunjukkan kehormatan perguruan tinggi menurun. Bahkan perguruan tinggi itu akan mendapat cap yang negatif dari kalangan aktivis karena dianggap apatis. Inilah yang menyebabkan jaket almamater dianggap sakral.

Mengalami Devaluasi
 
Namun, tampaknya sekarang ini jaket almamater mengalami devaluasi (penurunan nilai). Penurunan nilai itu terjadi ketika kini tak jarang ditemukan jaket almamater dikenakan dalam acara-acara guyonan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pendidikan. Seperti yang kita ketahui saat ini, banyak sekali talk show yang melibatkan mahasiswa sebagai penontonnya. Ironisnya, mereka bangga telah memakai almamater itu dalam acara-acara humor. Malah, mereka menganggap bahwa dengan begitu, mereka sudah mempromosikan kampus mereka. Para mahasiswa terlihat begitu menikmati acara-acara yang sama sekali tidak berpendidikan.
 
Realitas ini membuat mahasiswa sekarang kehilangan jati dirinya. Dalam hal ini, kebanyakan mahasiswa tidak lagi mempunyai idealitas yang kuat, yang ada hanyalah gaya hedonistis dan pragmatis. Kemudian inilah yang membuat mahasiswa kehilangan kekritisannya dalam menemui setiap masalah, khususnya dalam masalah negara.

Penyebabnya adalah kebanyakan mahasiswa tidak mengerti bahwa mereka mempunyai peran dan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Para mahasiswa tidak menyadari bahwa mereka bisa kuliah karena adanya subsidi dari negara. Perlu diingat juga bahwa negara memberikan subsidi kepada perguruan tinggi untuk menyelenggarakan proses pendidikan tidak lain adalah dari uang rakyat. Tidak peduli rakyat itu miskin atau kaya. Mahasiswa harus berpikir, bahwa subsidi itu berasal dari ibu-ibu penjual kangkung di pasar, buruh tani yang berkerja panas-panasan, para nelayan yang berjuang di lautan lepas, dan lain sebagainya. Melalui pajaklah mereka menyalurkan uangnya untuk memberikan subsisdi kepada perguruan tinggi.
 
Untuk mengubah paradigama mahasiswa tersebut, harus ada penyadaran dari perguruan tinggi bahwa mereka bisa kuliah karena ada uang rakyat miskin di situ. Dengan begitu, mahasiswa akan kembali sadar bahwa mereka mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap masyarakat. Walhasil, para mahasiswa akan kembali pada paradigma awal, bahwa mereka akan memperjuangakan nasib rakyat dan tidak lagi bergaya hidup hedonistis. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar