Rabu, 07 November 2012

Liverpudlian Suporter of Indonesia

SEBENARNYA KITA INI BUKAN LIVERPUDLIAN!!
Ayo dibaca kawan-kawan (baca : copy & paste) dari wall grup
BIGREDS IOLSC Regional Bandung. Berawal dari postingan
teh Dhini Renata yang mengoreksi kesalahan penggunaan
istilah Liverpudlian untuk menyebut pendukung LFC, diskusi
kemudian berkembang menjadi suatu pembahasan yang
menyeluruh tentang kata Liverpudlian itu sendiri. Albert
Shadrach,
salah seorang member BIGREDS pun urun informasi yang ke
mudian menjadi ide awal dibuatnya dokumen ini. Diharapkan
dokumen ini dapat memberikan pengetahuan yang baik bagi
anggota grup ini.Berikut adalah kutipan informasi dari bung
Albert dengan sedikit penyesuaian alinea :LIVERPUDLIAN
ADALAH BERARTI WARGA KOTA LIVERPOOL. Tidak ada
satupun quotes/ merchandises/
chants/ yells resmi LFC yg
menyebutkan kata "Liverpudlian" yang merujuk kepada arti
→ supporter. Dan supporter LFC disebut KOPITE (dibaca:
Kopayt), sedangkan bentuk jamaknya adalah KOPITES
(dibaca: Kopayts). Lantas dari manakah semua kesalah-
kaprahan ini berasal?
Dalam chant "Poor Scouser Tommy", ada lyrics: "Oh, I am a
Liverpudlian. And I come from The Spion Kop". Inilah awal
mula kesalah-kaprahan tersebut di INDONESIA.
Apa? Di Indonesia?
Ya, benar, hanya di Indonesia saja kita mendengar
pendukung LFC menyebut diri Liverpudlian. Di negara lain tak
ada yang salah kaprah, mereka menyebut diri mereka
KOPITES. Adapun makna dari lyrics tadi: si Tommy ini adalah
prajurit Inggris yang dikirim ke Libya saat Perang Dunia II.
Dan disetiap Dog Tag akan tertera dari Divisi manakah dia,
dan dicantumkanlah bahwa dia berasal dari divisi di kota
Liverpool. Itulah sebabnya sebelum tewas, dia berkata
bahwa dia adalah seorang Liverpudlian (warga kota
Liverpool). Namun, kecintaannya terhadap LFC membuat
Tommy yang sedang sekarat pun tetap bangga mengaku
sebagai seorang KOPITE (supporter LFC), dengan berkata
bahwa dia tak hanya sebagai warga kota Liverpool semata,
melainkan dia berasal dari The Spion Kop
The Spion Kop (salah satu tribun di stadion Anfield yang
paling bawel ngchants pada saat itu).
Dengan keterbatasan informasi di Indonesia, terutama di era
1970 - awal 1980 an dimana kaum muda hanya mengenal
sepakbola luar negeri melalui Dunia Dalam Berita, dan
pertandingan final sepakbola hanya sesekali ditayangkan
secara langsung oleh TVRI di pertengahan 1980 an, ditambah
dengan lebih mudahnya menghafal kata Liverpudlian (karena
memiliki susunan huruf yang mendekati Liverpool)
dibandingkan "Kopites", dan ditambah dengan tingkat
kesalah-kaprahan yang tinggi didalam penggunaan kata di
masyarakat Indonesia, membuat penyebaran kesalahan
makna "Liverpudlian" ini menjadi semakin cepat, dan malah
menggeser Kopites sebagai istilah yang benar. Apalagi
kemudian diperparah pula dengan watak kita semua yang
"udah salah, ngotot pula". Dan juga watak "membiarkan
kesalahan berlanjut karena gak mau repot", dan juga watak
"berkelakar-bercanda diseputar kesalahan".
Akhirnya pada saat pertengahan 1990 an dimana persaingan
TV Swasta mulai merebak, mengakhiri kejayaan tunggal RCTI
dengan Decoder-nya, maka muncullah ide untuk
menayangkan secara langsung pertandingan sepak bola Liga
Inggris oleh salah satu Direktur Utama TV saat itu. Dan si
presenter pertandingan di TV Indonesia kerap menyebut kata
"Liverpudlian" saat dia berceloteh mengenai supporter LFC.
Pengaruh media sangatlah luas, dan akhirnya mencuci otak
para anak muda yang rata2 SMA atau baru masuk kuliah saat
era pertengahan 1990 an itu. Mereka2 ini kerap berkumpul
sepulang kuliah dan akhirnya semakin meluas pula kesalahan
penggunaan kata "Liverpudlian" ini. Saat bertemu orang lain
yang menggunakan t-shirt/ atribut LFC, akan dengan ramah
disapa: "oh, kamu Liverpudlian juga yah?" yang semakin
membuat penggunaan ngaco ini berlanjut. Hingga puncaknya
adalah Twitter dimasa kini.
Lantas, dari manakah istilah KOPITES itu berasal?
Ya, tepat. Rujukan kata itu bersumber dari THE KOP, atau
The Spion Kop (salah satu tribun di stadion Anfield). Awalnya,
penggunaan istilah Kopites ini disematkan kepada orang2
keturunan Scandinavia, terutama buruh-buruh kapal
Norwegia, yang banyak berlabuh di Liverpool. Mereka ini
lebih kasar, pemabuk, namun lebih "garis keras" dalam
mendukung tim sepakbola (saat itu Everton lebih diminati
oleh Liverpudlian -- warga kota Liverpool --dibandingkan tim
sekota yg baru muncul, LFC). Sedangkan penggunaan istilah
The Kop ini bersumber dari penghargaan terhadap prajurit
korban Second Boer War, dimana banyak prajurit Inggris
yang tewas berasal dari kota Liverpool.
Nah, pada perkembangannya, LFC tampak lebih menarik
untuk disimak, sehingga para Liverpudlian (warga kota
Liverpool) mulai menyematkan istilah KOPITES kedalam diri
mereka, karena mereka turut melebur kedalam suasana
mendukung LFC. Dan seiring dengan perjalanan waktu,
sejarah demi sejarah ditorehkan oleh LFC, akhirnya
muncullah sebutan bagi para supporter LFC yang non -
Liverpudlian, bukan warga kota Liverpool, dengan sebutan
WOOLS.
Julukan ini "sedikit" bernada merendahkan, dalam artian:
Wools hanya bisa mendukung lewat TV di negaranya, tak
hadir disetiap pertandingan kandang di Anfield, atau tak
nongkrong rutin di THE ALBERT (Pub diseberang The Kop).
Para pendukung LFC (Kopites) notabene kini merupakan
Liverpudlian (warga kota) dan tak lagi buruh kapal luar
negeri, bahkan sebagian besar merupakan SCOUSER (sub-
race/ suku bangsa berlogat). Sehingga saat kejayaan LFC
berimbas ke dunia luas, maka penggunaan julukan "Wools"
bagi supporter LFC non warga kota Liverpool pun semakin
luas. DAN JIKA KALIAN MASIH NGOTOT MENGGUNAKAN
ISTILAH "LIVERPUDLIAN" saat kalian nanti ke Anfield, maka
bersiaplah untuk diejek oleh beberapa oknum Kopites yang
mabuk.
Biasanya mereka langsung mengenali kita sebagai tourist
(turis), mereka akan ramah menyapa kita, dan jika kalian
memang cinta LFC, maka katakanlah: "I am a Liverpool FC
Kopite too, by the way", dan mereka akan semakin ramah
dan akrab, menyapamu dengan jawaban: "Oh, so you are a
Wool, glad to hear that. It's ring a bell for sure. Another pin,
mate?".
Tapi bayangkanlah jika kesalah-kaprahan penggunaan
"Liverpudlian" ini terjadi, maka mereka akan langsung
mengenali logat English kalian yang jelas2 sangat tidak ber-
scouser, dan mereka (jika mabuk) akan mengejekmu
meminta kalian mengeluarkan ID Card (Kartu Tanda
Penduduk) kota Liverpool.
Kesalahkaprahan penggunaan kata didalam bahasa
Indonesia, dan serapan bahasa asing kedalam Bahasa
Indonesia sangatlah mudah ditolerir. Dan sebagai sesama
KOPITES, tentunya para Liverpudlian (warga kota Liverpool) --
jika bukan oknum yang sedang mabuk -- akan melayani kita
dengan ramah, apalagi status kita sebagai tourist, sebagai
Wools (pendukung LFC yg berasal dari luar kota Liverpool,
bahkan luar negeri).
Akhirnya, demi untuk menjalin silaturahmi, JIKA KAMU
BERTANYA seperti ini: "Saya pendukung LFC, tapi saya bukan
warga kota Liverpool. Apakah saya boleh menyebut diri saya
sebagai seorang Liverpudlian?", maka karena keramahan
mereka, para orang kota Liverpool ini akan menjawab: "Oh,
tentu saja boleh" untuk menghargai perkenalan kalian. Inilah
yang kemudian menyebabkan EVOLUSI BAHASA. Penggemar
LFC di Indonesia sangatlah banyak, dan hampir semuanya
menyebut mereka sebagai Liverpudlian, dan bukan Kopites.
Please jangan menyebut kalian sebagai Wools, secara itu
adalah "ejekan tidak langsung". Dan ditambah pula dengan
adanya istilah EVERTONIAN bagi fans Everton FC dikalangan
para Liverpudlian (warga kota Liverpool). Akhirnya,
penyematan label "Liverpudlian" menjadi sangat maklum
dikalangan para tourist. Dalam bahasa sinisnya, para Kopites
akan "yaaaaaaaa, yaaaaaaaa, whatever" jika kalian mengaku2
sebagai Liverpudlian (padahal maksudnya adalah sebagai
Kopites).
Saking dimaklum-nya, akhirnya menjadi semakin maklum,
kesalah-kaprahan semakin berlanjut, dan bahkan
"dicantumkan" oleh seseorang (non Scouser) kedalam kamus
tak resmi LFC bahwa → Liverpudlian adalah warga kota
Liverpool, namun karena ada Evertonian (pendukung EFC),
maka Liverpudlian juga dapat bermakna sebagai fans
(penggemar) LFC. Ingat, fans ... PENGGEMAR, dan bukan
seperti KOPITES yang bermakna sebagai SUPPORTER/
pendukung.
Berdasarkan penjelasan tadi, maka kita semua semakin
cerdas, sadar, dan mengerti. Ini bukan mengenai "setuju
atau tidak setuju". Ini bukan mengenai "toleransi atau alibi
tidak diterima". Ini mutlak mengenai kebiasaan salah kaprah
didalam penggunaan bahasa asing.
Ingat, budaya sepakbola di Inggris JAUUUUUHH melebihi
budaya sepakbola di negara lain. Tak perlu disangkal, karena
semua orang sudah tau siapakah bangsa pendiri olah raga
yang satu ini.
KESALAH-KAPRAHAN PENGGUNAAN BAHASA AKAN TERUS
BERLANJUT DAN MENYEBAR, tinggal dari diri kalian, apakah
kalian ingin semakin cerdas, atau kalian membandel dan
ngotot dan tidak mau semakin mencerahkan pengetahuan.
(The Reds Indonesia)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar