Selasa, 08 Januari 2013

Sejarah Rebo Wekasan di Desa Suci


Upacara Rebo Wekasan di desa Suci bermula dari kisah dakwah agama Islam oleh Sunan Giri dan para muridnya di daerah bagian barat Gresik. Tepatnya desa Polaman (Pelaman), sebuah bukit kapur yang tandus dan gersang. Sunan Giri memberi titah kepada Khadam al-Muqoddam, salah seorang santri yang juga kerabat sunan Giri untuk menyebarkan ajaran agama Islam di sana. Maka, sesuai petunjuk Sunan Giri, Khadam melaksanakan amanat ini, kemudian beliau beranjak pergi menuju desa Polaman. Setelah sampai di sana, ternyata sebagian masyarakat menerima dengan hati terbuka, bahkan ada yang memeluk agama Islam dan membantu mendirikan masjid yang juga difungsikan sebagai pesantren untuk mempelajari ilmu agama. Dalam perjalanan selanjutnya, tiba-tiba desa Polaman tertimpa musibah kekeringan dan kemarau panjang. Walaupun masyarakat desa Polaman sudah terbiasa dengan suasana kering. Namun, kali ini berbeda, banyak sekali tumbuhan menjadi tandus dan layu, binatang ternak dan penduduk kehausan sepanjang hari. Akhirnya, Khadam sowan ke Sunan Giri melaporkan kejadian tersebut, dan setelah memperhatikan penuturan Khadam, Sunan Giri memutuskan untuk menilik langsung ke lokasi, beliau berniat untuk mengunjungi desa Polaman. Dengan disertai Khadam dan para santri lainnya, Sunan Giri menuju ke pesantren Khadam yang terletak di bukit kapur. Setibanya di masjid Polaman, Sunan Giri melihat sumur di depan masjid yang mulai mengering itu seraya berkata : “Oo.. Iki tho sumur Grinseng” Khadam dan santri lainnya mengangguk
Dengan daya linuwih Sunan Giri mengatakan bahwa beberapa ratus meter dari masjid terdapat sumber air yang melimpah. Dan benar, Khadam menemukan sebuah sumber air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan untuk bersuci dan kebutuhan lainnya. Dibuatlah sebuah sumur untuk mempermudah penyaluran air. Dan karena begitu besar manfaatnya akhirnya sumur tersebut dinamakan Sumur Gede. Untuk mencapai sumber itu masyarakat harus melewati jalan terjal, sehingga terbesit dalam hati masyarakat perasaan sedih, walaupun sebenarnya mereka cukup bergembira dengan ditemukannya sumber air baru itu. Perasaan mesem-nangis (Jawa : tersenyum dan menangis) inilah yang terlihat di raut muka masyarakat Polaman, sehingga di kemudian hari diabadikan menjadi sebuah nama kampung Semanis, tempat mereka bermukim. Namun, lantaran banyaknya masyarakat yang menimba air, kebutuhan air pun tidak mencukupi, akibatnya sumber air di Sumur Gede pun menyusut. Apalagi musim kemarau tak kunjung reda, secara spontan Khadam menghadap kembali ke Sunan Giri. Kemudian Sunan Giri memberi petunjuk lagi kepada Khadam untuk menelusuri lereng bukit, jika menemukan tempat yang banyak tumbuh pepohonan maka akan ada sumber air di sana. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya pada tahun 1403 M, Khadam menemukan sebuah tempat di sebelah utara kampung Polaman. Tempat tersebut banyak ditumbuhi Pohon Randu, Beringin, Abar dan Kayu Tangan serta Kesono yang membentuk sebuah gerumbul dan tepatnya dibawah rerimbunan pohon itu terdapat sumber air yang sangat jernih dan bersih, saking derasnya hingga meluap ke permukaan tanah. Sehingga pada tahun 1913 M dan tahun 1932 M semasa penjajahan Belanda, dibuatlah Water Town atau gedung penampungan air untuk mengalirkan air ke daerah sekitarnya, seperti Roomo, Sukomulyo, Kota Gresik dan lain-lain. Dan sekarang, setelahIndonesia merdeka, sumur tersebut dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Gresik, sedangkan gedungnya dialihfungsikan untuk kantor PDAM wilayah Manyar.

Dalam penelusuran sumber air tersebut, Khadam menemui sebuah ‘pertanda’ yang sangat bijak. Pertama : tempat tersebut terdapat beberapa tanaman dan pepohonan yang tumbuh subur, padahal saat itu musim kemarau, kedua : ada seekor Anjing yang sedang dalam keadaan basah kuyub. Atas kejadian itu, Sunan Giri menyebut tempat itu dengan nama Desa Suci karena dianggap cukup memenuhi syarat untuk digunakan SESUCI (Jawa : bersuci). Selanjutnya beliau menyuruh Khadam untuk membuat tiga buah kolam besar untuk padusan (Jawa : tempat pemandian), diantaranya untuk penduduk laki-laki, penduduk perempuan dan binatang ternak.
Setelah ditemukan sumber baru tersebut, masjid yang ada di Polaman atau kampung Semanis dipindahkan ke dekat sumber, bahkan penduduk banyak yang mendirikan rumah di sekitar tempat tersebut yang kemudian menjadi Kampung Sumber, sementara masjid yang baru didirikan di dekat pemandian Sendang Sono diberi nama masjid Mambaut Tho’at. Pada masa penjajahan Jepang masjid desa pindah ke kampung Gombang sebelah barat desa, dan setelah Indonesia merdeka pindah lagi ke tempat semula, namun atas saran para tokoh masyarakat, masjid desa dipindah ke tengah-tengah desa Suci dan diberi nama masjid Raudlatus Salam hingga sekarang.
Menurut kalender Jawa, peristiwa ditemukannya sumber air serta selesainya proses pembangunan masjid Mambaut Tho’at itu terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Sapar (Arab = Shafar) Dengan demikian, penduduk mengadakan tasyakuran, sebagai wujud rasa syukur atas rahmat dan maunah Allah s.w.t. Para penduduk mensucikan diri dengan air kolam di Sendang Sono dan setelah acara riyadhoh, dilanjutkan dengan mendengarkan ceramah Sunan Giri. Dalam buku Grisse tempoe dulu disebutkan sebagian petuah Sunan Giri :
“Sumber Zamzam di Masjidil Haram Mekah ditemukan pada hari Rebo Pungkasan. Jadi khasiat sumber air di sini sama dengan air Zamzam. Barang siapa yang mensucikan dirinya di sumber air ini pada tengah malam Rebo Wekasan di bulan Sapar, dan ia khusyu’ mengajukan permohonan kepada Allah s.w.t, maka dengan kehendak Allah s.w.t, permohonan itu akan dikabulkan.”
Selanjutnya beliau berpesan agar setiap malam Rebo Wekasan diadakan tasyakuran semacam ini. Maka oleh penduduk desa Suci, setiap tahun tepatnya bulan Shafar diadakan riyadhoh dan tasyakuran, mandi malam kemudian dilanjutkan dengan shalat malam, sujud syukur sebagai ucapan terima kasih kepada Allah s.w.t. Memohon agar diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala penyakit. Banyak pula diantara para pengunjung mengambil air dari sumber untuk dibawa pulang sebagai tabarrūk, disamping itu tidak kalah menariknya, banyak pula dari mereka yang melemparkan uang receh ke dalam sumber, dan dengan respon yang cepat, anak-anak (baca : pengunjung anak-anak) menyelam ke dalam sumber tersebut untuk berebut uang receh. Ada juga dari para pengunjung yang menikmati panorama gua-gua di gunung Suci, diantaranya adalah Gua Alang-alang, Gua Anten, Gua Gede, Gua Pelesiran, Gua Seleman, Gua Kelelawar, Gua Pincukan, Gua Jaran dan lain-lain.

Tahun demi tahun, pengunjung Rebo Wekasan di desa Suci semakin membludak, mereka datang dari pelbagai penjuru kabupaten Gresik, bahkan ada yang datang dari luar Jawa, tak ayal menjadikan para pengais rizki berbondong-bondong menuju desa Suci, mulai dari pedagang pakaian, alat-alat rumah tangga, bermacam makanan dan minuman dan penjual jasa. Awalnya, jenis makanan dan minuman yang dijual cukup sederhana diantaranya kacang goreng, kacang godog yang dipikul dan dilengkapi lampu oplik sebagai penerangan, sedangkan minuman yang dijual berupa cao plek, dawet dan serbat. Disamping itu terdapat makanan khas Rebo Wekasan yang dijual sejak dulu, yakni Rujak Manis dan dawet yang berasal dari desa Romo, Serabi Raksasa dan Wingko dari Doho, Kupat Kateg dari Giri.
Namun, semenjak tahun 1985 M. upacara Rebo Wekasan di desa Suci telah mengalami pergeseran budaya. Hal ini disebabkan karena perkembangan zaman yang semakin modern apalagi sumber air dari Sendang Sono (padusan perempuan) menyusut serta kolam yang digunakan untuk pemandian peserta Rebo Wekasan laki-laki atau padusan lanang telah dibangun di atasnya gedung NU dan memandikan binatang (Jawa : guyangan), yang sebelumnya mengalirkan air yang deras dan melimpah, menjadi mengering bahkan dialih fungsikan oleh anak-anak sebagai lapangan sepak bola sekitar akhir tahun 2005. Atau terkadang padusan itu ada airnya, namun diisi dengan air PDAM secara manual. Demikian juga dengan stand dan penjaja keliling yang menjual pelbagai makanan dan minuman semakin merambah menghiasi seluruh ruas jalan di desa Suci hingga ke desa Pongangan ketika malam Rebo Wekasan, sehingga banyak sekali para pengunjung yang hanya sekedar jalan-jalan tanpa mengikuti ritual yang masih dilestarikan di masjid Mamba’ut Tho’at, penulis merasakan sendiri ketika mengikuti pelaksanaan Rebo Wekasan di desa Suci pada tahun 2000 M. Kebanyakan para pengunjung menikmati keramaian seperti pasar malam di sepanjang ruas jalan KH. Syafi’i (jalan desa Suci). Bahkan pelbagai macam hiburan diselenggarakan dalam rangka meramaikan acara Rebo Wekasan, diantaranya adalah wayang kulit, panggung sandiwara bernafaskan Islam, pencak silat, pentas seni, layar tancap, komedi putar, seni hadrah dan lain sebagainya menyesuaikan situasi dan kondisi sesuai kesepakatan panitia Rebo Wekasan. Demikian stand yang menjual pelbagai makanan dan minuman, mainan anak-anak, perhiasan serta pakaian dan alat-alat rumah tangga menjamur.
Adapun para pengunjung luar desa Suci ataukotaGresik yang mempunyai hubungan famili dengan penduduk desa Suci serta tetangga dan kerabat setempat melakukan silaturrahim dengan disuguhi makanan khas lontong bumbu ladan yang dilengkapi dengantempe, tahu dan daging ayam, layaknya hari raya Idul Fitri. Disamping mengikuti ritual dan atau sekedar jalan-jalan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar