Upacara Rebo Wekasan di
desa Suci bermula dari kisah dakwah agama Islam oleh Sunan Giri dan para
muridnya di daerah bagian barat Gresik. Tepatnya desa Polaman
(Pelaman), sebuah bukit kapur yang tandus dan gersang. Sunan Giri
memberi titah kepada Khadam al-Muqoddam, salah seorang santri yang juga
kerabat sunan Giri untuk menyebarkan ajaran agama Islam di sana. Maka,
sesuai petunjuk Sunan Giri, Khadam melaksanakan amanat ini, kemudian
beliau beranjak pergi menuju desa Polaman. Setelah sampai di sana,
ternyata sebagian masyarakat menerima dengan hati terbuka, bahkan ada
yang memeluk agama Islam dan membantu mendirikan masjid yang juga
difungsikan sebagai pesantren untuk mempelajari ilmu agama. Dalam
perjalanan selanjutnya, tiba-tiba desa Polaman tertimpa musibah
kekeringan dan kemarau panjang. Walaupun masyarakat desa Polaman sudah
terbiasa dengan suasana kering. Namun, kali ini berbeda, banyak sekali
tumbuhan menjadi tandus dan layu, binatang ternak dan penduduk kehausan
sepanjang hari. Akhirnya, Khadam sowan ke Sunan Giri melaporkan
kejadian tersebut, dan setelah memperhatikan penuturan Khadam, Sunan
Giri memutuskan untuk menilik langsung ke lokasi, beliau berniat untuk
mengunjungi desa Polaman. Dengan disertai Khadam dan para santri
lainnya, Sunan Giri menuju ke pesantren Khadam yang terletak di bukit
kapur. Setibanya di masjid Polaman, Sunan Giri melihat sumur di depan
masjid yang mulai mengering itu seraya berkata : “Oo.. Iki tho sumur Grinseng” Khadam dan santri lainnya mengangguk
Dengan daya linuwih Sunan Giri
mengatakan bahwa beberapa ratus meter dari masjid terdapat sumber air
yang melimpah. Dan benar, Khadam menemukan sebuah sumber air yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan untuk bersuci dan kebutuhan lainnya. Dibuatlah
sebuah sumur untuk mempermudah penyaluran air. Dan karena begitu besar
manfaatnya akhirnya sumur tersebut dinamakan Sumur Gede. Untuk
mencapai sumber itu masyarakat harus melewati jalan terjal, sehingga
terbesit dalam hati masyarakat perasaan sedih, walaupun sebenarnya
mereka cukup bergembira dengan ditemukannya sumber air baru itu.
Perasaan mesem-nangis (Jawa : tersenyum dan menangis) inilah
yang terlihat di raut muka masyarakat Polaman, sehingga di kemudian hari
diabadikan menjadi sebuah nama kampung Semanis, tempat mereka bermukim.
Namun, lantaran banyaknya masyarakat yang menimba air, kebutuhan air
pun tidak mencukupi, akibatnya sumber air di Sumur Gede pun menyusut.
Apalagi musim kemarau tak kunjung reda, secara spontan Khadam menghadap
kembali ke Sunan Giri. Kemudian Sunan Giri memberi petunjuk lagi kepada
Khadam untuk menelusuri lereng bukit, jika menemukan tempat yang banyak
tumbuh pepohonan maka akan ada sumber air di sana. Setelah beberapa lama
mencari, akhirnya pada tahun 1403 M, Khadam menemukan sebuah tempat di
sebelah utara kampung Polaman. Tempat tersebut banyak ditumbuhi Pohon
Randu, Beringin, Abar dan Kayu Tangan serta Kesono yang membentuk sebuah
gerumbul dan tepatnya dibawah rerimbunan pohon itu terdapat sumber air
yang sangat jernih dan bersih, saking derasnya hingga meluap ke permukaan tanah. Sehingga pada tahun 1913 M dan tahun 1932 M semasa penjajahan Belanda, dibuatlah Water Town atau
gedung penampungan air untuk mengalirkan air ke daerah sekitarnya,
seperti Roomo, Sukomulyo, Kota Gresik dan lain-lain. Dan sekarang,
setelahIndonesia merdeka, sumur tersebut dikelola oleh Perusahaan Daerah
Air Minum Kabupaten Gresik, sedangkan gedungnya dialihfungsikan untuk
kantor PDAM wilayah Manyar.
Dalam penelusuran sumber air tersebut, Khadam menemui sebuah ‘pertanda’ yang sangat bijak. Pertama : tempat tersebut terdapat beberapa tanaman dan pepohonan yang tumbuh subur, padahal saat itu musim kemarau, kedua : ada
seekor Anjing yang sedang dalam keadaan basah kuyub. Atas kejadian itu,
Sunan Giri menyebut tempat itu dengan nama Desa Suci karena dianggap
cukup memenuhi syarat untuk digunakan SESUCI (Jawa : bersuci).
Selanjutnya beliau menyuruh Khadam untuk membuat tiga buah kolam besar
untuk padusan (Jawa : tempat pemandian), diantaranya untuk penduduk laki-laki, penduduk perempuan dan binatang ternak.
Setelah ditemukan sumber baru tersebut,
masjid yang ada di Polaman atau kampung Semanis dipindahkan ke dekat
sumber, bahkan penduduk banyak yang mendirikan rumah di sekitar tempat
tersebut yang kemudian menjadi Kampung Sumber, sementara masjid yang
baru didirikan di dekat pemandian Sendang Sono diberi nama masjid
Mambaut Tho’at. Pada masa penjajahan Jepang masjid desa pindah ke
kampung Gombang sebelah barat desa, dan setelah Indonesia merdeka pindah
lagi ke tempat semula, namun atas saran para tokoh masyarakat, masjid
desa dipindah ke tengah-tengah desa Suci dan diberi nama masjid
Raudlatus Salam hingga sekarang.
Menurut kalender Jawa, peristiwa
ditemukannya sumber air serta selesainya proses pembangunan masjid
Mambaut Tho’at itu terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Sapar (Arab =
Shafar) Dengan demikian, penduduk mengadakan tasyakuran,
sebagai wujud rasa syukur atas rahmat dan maunah Allah s.w.t. Para
penduduk mensucikan diri dengan air kolam di Sendang Sono dan setelah
acara riyadhoh, dilanjutkan dengan mendengarkan ceramah Sunan Giri.
Dalam buku Grisse tempoe dulu disebutkan sebagian petuah Sunan Giri :
“Sumber Zamzam di Masjidil Haram Mekah
ditemukan pada hari Rebo Pungkasan. Jadi khasiat sumber air di sini sama
dengan air Zamzam. Barang siapa yang mensucikan dirinya di sumber air
ini pada tengah malam Rebo Wekasan di bulan Sapar, dan ia khusyu’
mengajukan permohonan kepada Allah s.w.t, maka dengan kehendak Allah
s.w.t, permohonan itu akan dikabulkan.”
Selanjutnya beliau berpesan agar setiap
malam Rebo Wekasan diadakan tasyakuran semacam ini. Maka oleh penduduk
desa Suci, setiap tahun tepatnya bulan Shafar diadakan riyadhoh dan
tasyakuran, mandi malam kemudian dilanjutkan dengan shalat malam, sujud
syukur sebagai ucapan terima kasih kepada Allah s.w.t. Memohon agar
diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala penyakit. Banyak pula
diantara para pengunjung mengambil air dari sumber untuk dibawa pulang
sebagai tabarrūk, disamping itu tidak kalah menariknya, banyak
pula dari mereka yang melemparkan uang receh ke dalam sumber, dan dengan
respon yang cepat, anak-anak (baca : pengunjung anak-anak) menyelam ke
dalam sumber tersebut untuk berebut uang receh. Ada juga dari para
pengunjung yang menikmati panorama gua-gua di gunung Suci, diantaranya
adalah Gua Alang-alang, Gua Anten, Gua Gede, Gua Pelesiran, Gua Seleman,
Gua Kelelawar, Gua Pincukan, Gua Jaran dan lain-lain.
Tahun demi tahun, pengunjung Rebo Wekasan
di desa Suci semakin membludak, mereka datang dari pelbagai penjuru
kabupaten Gresik, bahkan ada yang datang dari luar Jawa, tak ayal
menjadikan para pengais rizki berbondong-bondong menuju desa Suci, mulai
dari pedagang pakaian, alat-alat rumah tangga, bermacam makanan dan
minuman dan penjual jasa. Awalnya, jenis makanan dan minuman yang dijual
cukup sederhana diantaranya kacang goreng, kacang godog yang dipikul dan dilengkapi lampu oplik
sebagai penerangan, sedangkan minuman yang dijual berupa cao plek,
dawet dan serbat. Disamping itu terdapat makanan khas Rebo Wekasan yang
dijual sejak dulu, yakni Rujak Manis dan dawet yang berasal dari desa
Romo, Serabi Raksasa dan Wingko dari Doho, Kupat Kateg dari Giri.
Namun, semenjak tahun 1985 M. upacara
Rebo Wekasan di desa Suci telah mengalami pergeseran budaya. Hal ini
disebabkan karena perkembangan zaman yang semakin modern apalagi sumber
air dari Sendang Sono (padusan perempuan) menyusut serta kolam yang digunakan untuk pemandian peserta Rebo Wekasan laki-laki atau padusan lanang telah dibangun di atasnya gedung NU dan memandikan binatang (Jawa : guyangan),
yang sebelumnya mengalirkan air yang deras dan melimpah, menjadi
mengering bahkan dialih fungsikan oleh anak-anak sebagai lapangan sepak
bola sekitar akhir tahun 2005. Atau terkadang padusan itu ada airnya,
namun diisi dengan air PDAM secara manual. Demikian juga dengan stand
dan penjaja keliling yang menjual pelbagai makanan dan minuman semakin
merambah menghiasi seluruh ruas jalan di desa Suci hingga ke desa
Pongangan ketika malam Rebo Wekasan, sehingga banyak sekali para
pengunjung yang hanya sekedar jalan-jalan tanpa mengikuti ritual yang
masih dilestarikan di masjid Mamba’ut Tho’at, penulis merasakan sendiri
ketika mengikuti pelaksanaan Rebo Wekasan di desa Suci pada tahun 2000
M. Kebanyakan para pengunjung menikmati keramaian seperti pasar malam di
sepanjang ruas jalan KH. Syafi’i (jalan desa Suci). Bahkan pelbagai
macam hiburan diselenggarakan dalam rangka meramaikan acara Rebo
Wekasan, diantaranya adalah wayang kulit, panggung sandiwara bernafaskan
Islam, pencak silat, pentas seni, layar tancap, komedi putar, seni
hadrah dan lain sebagainya menyesuaikan situasi dan kondisi sesuai
kesepakatan panitia Rebo Wekasan. Demikian stand yang menjual pelbagai
makanan dan minuman, mainan anak-anak, perhiasan serta pakaian dan
alat-alat rumah tangga menjamur.
Adapun para pengunjung luar desa Suci
ataukotaGresik yang mempunyai hubungan famili dengan penduduk desa Suci
serta tetangga dan kerabat setempat melakukan silaturrahim dengan
disuguhi makanan khas lontong bumbu ladan yang dilengkapi dengantempe,
tahu dan daging ayam, layaknya hari raya Idul Fitri. Disamping mengikuti
ritual dan atau sekedar jalan-jalan.